Sabtu, 07 Januari 2012

Orientasi Pendidikan Dan Mutilasi Ilmu Pengetahuan

Banyak sekali salah kaprah tentang orientasi pendidikan. Salah kaprah ini terjadi karena pemahaman yang sempit terhadap manfaat pendidikan itu sendiri. Jika diartikan dari segi pendidikan formal dan informal filosofi mendidik itu ditujukan agar kita “mampu survive” bukan menjadi kaya atau mampu memperoleh pekerjaan yang layak. Survive tidak hanya urusan perut belaka tapi juga berarti mampu bertahan dalam bersikap, dalam eksistensi ke-diri-an, serta bertahan dalam menempuh sebuah tujuan.

Tidak perlu saya contohkan, karena jika harus berpikir harapan dari pendidikan adalah ingin menghasilkan keturunan/generasi yang berada dan mandiri maka sekolah formal tak usah kita gembar-gemborkan. Ingin jadi orang kaya? Tak perlu susah-susah jadi pelajar, tapi jadilah saudagar. Ini jika orientasi kita untuk menjadi orang sukses dalam karir. Sekali lagi perlu diingat pendidikan adalah bagaimana kita survive dan bagaimana agar kita tidak terjerumus dalam kebodohan.

Mutilasi Pengetahuan

Sebagai contoh, seorang yang agamis (mendalami ilmu agama) sekaligus berperan sebagai seorang scientist (orang yang mempelajari ilmu pasti) seperti Gregor Mendel atau Ibnu Rusyd bagi masyarakat di zamannya, masih adakah sosok seperti mereka di zaman ini? Mungkin ada beberapa tapi tidak terlalu mencolok dan populis ketimbang publik figur seperti politisi, olahragawan, atau seorang selebiritis.
Saya sendiri punya paradigma jika kepribadian multi-talenta harus kita miliki. Ditengah arus zaman yang begitu keras dan era postmodernitas kerap kali terjadi mutilasi pengetahuan. Meminjam istilah Emile Durkheim (sosiolog Prancis) yaitu, Division of Labour (baca: pembagian kerja) atau spesialisasi. Tidak ada salahnya jika seseorang fokus pada satu kajian atau bidang kerja tertentu, namun faedah dari ilmu tidak terbatas pada status sosial. Artinya semua orang berhak memberdayakan potensinya.

Sosok seperti Gregor Mendel bagi umat kristiani atau juga Ibnu Rusyd bagi umat muslim sebagai contoh, mungkin satu berbanding seribu pada milenium ini. Ilmu manusia tidak tak terbatas kendati dahaga akan misteri hidup makin menggebu. Ini merupakan hasrat positif. Sekularisasi idealnya sebuah kultur sistemik dalam ketatanegaraan namun pada prakteknya hal ini juga mempengaruhi dan membudaya terhadap kepribadian seseorang. Menguasai berbagai ilmu baik agama maupun ilmu pasti ibaratnya tak punya orientasi.
Buat apa mendalami ilmu agama beserta tafsirnya, toh sudah ada ustadz dan pendeta?
Sering saya–dan mungkin juga anda–mendengar retorika seperti itu baik secara langsung atau dari tempat-tempat lainnya. Bahkan sering terdengar dilingkungan akademisi. Padahal ilmu tak ada habisnya karena sadar atau tidak ilmu sendiri lahir dari sekumpulan pertanyaan persoalan hidup. Mencari berbagai jawaban atas gejala-gejala anomie dalam peradaban kemanusiaan.

Selamat berkontemplasi dan semangat melakukan perubahan. Pikiran dan sikap sangat menentukan tindakan.

Sumber bacaan:
http://ordinaryperson.mouzella.com/orientasi-pendidikan-dan-mutilasi-pengetahuan/400

Tidak ada komentar:

Posting Komentar